Jumat, 05 Juli 2019


BABAT ALAS BULUKANDANG





            Desa merupakan tempat bernaung adi luhung para leluhur Jawa yang selalu dihiasi dengan Budi Pekerti pewarisnya. Setiap jejak para leluhur memiliki harapan dalam kemajuan dan budaya masyarakat penerusnya, yang nantinya akan menjadi berharga ketika mereka tidak melupakan asal usul dimana mereka dilahirkan dan dimana mereka dibesarkan. Oleh karena itu, sastra lisan berupa dongeng turun—temurun sangat dibutuhkan generasi penerus dan harus dilestarikan agar cerita dari para leluhur tidak hilang begitu saja.
Pada artikel ini akan membahas sebuah cerita yang terjadi di Desa Bulukandang, salah satu desa di Kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Desa dengan nama yang unik ini memiliki 5 sesepuh yang membuka jalan bagi warga untuk tinggal di desa ini, atau dalam Bahasa Jawa sering disebut dengan ‘babat alas’ . 5 sesepuh ini mewakili 4 dusun yang ada di bawah naungan Desa Bulukandang. Mereka adalah Mbah Sampurno di Dusun Kandangan Krajan, Mbah Puger dan Mbah Sayu di Dusun Bulu Krajan, Datuk Baidowi di Dusun Tegalan Kandangan, dan Nyai Siti Fatimah di Dusun Tegalan Buluh.
            Dari kelima sesepuh ini, baru Mbah Sayu dan Mbah Puger yang ceritanya telah diketahui dan memiliki nuansa mistis yang kental. Daerah Bulu Krajan sendiri memiliki sebuah sungai tanpa air atau yang biasa disebut cura. Yang membedakan cura ini dengan yang lain adalah, setiap hari jumat legi akan muncul sepasang ‘banyak’ atau unggas sejenis bebek dengan leher yang lebih panjang. Unggas ini bersuara dan terkadang muncul di hadapan masyarakat. Tidak diketahui dari mana asalnya banyak ini. Ketika ada masyarakat yang mengejar, maka banyak ini akan berlari sepanjang cura kemudian menghilang.
            Diawali dengan kisah Mbah Puger yang memiliki ‘perewangan’ seekor macan putih yang akan mengelilingi Dusun Bulu Krajan setiap malam Jumat wage dengan kaki yang tidak menginjak tanah. Tujuan macan ini mengelilingi Dusun tidak lain adalah untuk berpatroli dan menjaga masyarakatnya dari generasi ke generasi. Macan ini hanya bisa dipanggil dengan orang—orang tertentu di Desa. Akan tetapi sekarang mulai sulit untuk menemukan orang yang memenuhi syarat tersebut.   
            Cerita selanjutnya adalah Mbah Sayu yang memiliki Tugu di Dusun Bulu Krajan yang kemudian dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Tugu ini tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang, dengan kata lain hanya orang tertentu yang dapat memasukinya. Mbah Sayu ini memiliki beberapa pusaka, salah satunya adalah sebuah cambuk yang begitu sakti. Saking saktinya, apabila ada orang yang ingin mengambilnya namun ilmunya tidak mencukupi, maka tubuh orang tersebut akan terbakar.
            Seiring berjalannya waktu, kesaktian Mbah Sayu tidak luntur. Hal itu terbukti ketika PT Sampoerna akan membangun PDAM dan wilayahnya sampai pada makam Mbah Sayu. Dengan terpaksa, makam yang sudah lama itu harus digusur ke pemakaman umum dan proses pemindahan tersebut menggunakan buldoser. Kejadian aneh bermula ketika supir buldoser tersebut melihat seekor ular yang teramat besar, kemudian menghilang. Bermaksud untuk melanjutkan pekerjaannya, buldoser yang dikendarai justru mengalami kerusakan dan tidak dapat digunakan. Keesokan harinya PT Sampoerna mendatangkan buldoser yang lebih besar. Akan tetapi blade buldoser malah pecah. Berangkat dari hal tersebut, maka pihak PT Sampoerna mendatangkan orang pintar untuk membantu pemindahan makam tersebut. Dengan bantuan orang pintar tersebut, maka rencana pemindahan makam berjalan dengan lancar.
            Sedikit kisah dari Desa Bulukandang merupakan sekeping puzzel untuk menyusun sebuah cerita yang indah dari berbagai daerah di tanah Jawa. Ya, tanah Jawa yang menyimpan berbagai cerita yang kental dengan ilmu batin, yang terkadang tidak dapat dinalar oleh logika manusia. Tugas kita sebagai generasi penerus adalah dengan mempercayai dan menghargai apa yang telah ada di sekitar kita. Sopan santun tetap harus dijaga kepada siapapun dan kapanpun juga. Karena dimana tanah dipijak, disitu pula langit dijunjung.
                                                                 


ASAL USUL NAMA DESA BULUKANDANG
KECAMATAN PRIGEN, KABUPATEN PASURUAN






Kali pertama yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar nama desa ini
mungkin banyak terdapat kandang unggas di desa tersebut. Kata bulu sendiri menurut KBBI adalah struktur lapisan luar kulit yang membentuk penutup tubuh bangsa unggas; kumpulan rambut banyak dan bertangkai seperti pada unggas. Sedangkan kata kandang sendiri menurut KBBI adalah ruang yang diberi pagar atau batas dan sebagainya.
Kenyataannya adalah di Desa Bulukandang tidak banyak ditemukan peternakan, justru desa ini merupakan wilayah pabrik. Pabrik yang terdapat di desa ini mulai dari pabrik rokok (Sampoerna), pabrik kayu, dan pabrik Kino yang memproduksi  makanan.  Mayoritas pekerjaan warga di Desa Bulukandang adalah petani dan pegawai pabrik, bukan peternak. 
Lantas apa yang menyebabkan desa ini disebut dengan nama Bulukandang?
Menurut legenda yang diceritakan secara turun-temurun oleh para orang tua, terdapat 2 versi cerita yang menjadi awal mula nama desa Bulukandang, yakni :
Cerita pertama
Desa Bulukandang di ambil dari 2 kata, bulu dan kandang. Hal ini bermula ketika seseorang yang membuka jalan atau dalam bahasa jawa disebut ‘babat alas’  menemukan sebuah tempat yang memiliki banyak kandang hewan dan terdapat banyak sekali bulu yang tersebar. Pada cerita ini belum diketahui kandang apa yang terdapat disana, apakah kandang ayam, ataukah bebek. Narasumber juga tidak mengetahui bulu yang dimaksud disini apakah hewan yang berbulu, ataukah sesuatu yang memiliki unsur seperti bulu (dalam hal ini di duga berasal dari kapuk pohon randu yang jatuh dan tertiup angin).

Cerita kedua
Dahulu desa Bulukandang memiliki sebuah pohon bulu yang teramat besar. Karena besarnya yang melebihi ukuran normal sebuah pohon, masyarakat menganggap pohon tersebut sebagai pohon keramat. Kata keramat secara umum memiliki hubungan yang erat dengan hal mistis, tidak terkecuali dengan pohon ini. Cerita mistis tersebut adalah apabila ada seorang pencuri atau perampok yang melakukan aksinya di desa ini dan sedang berlari menjauh dari kejaran warga kemudian menuju pohon bulu, maka pencuri atau perampok itu akan hilang dan tidak kembali lagi. Seakan—akan hilang ditelan oleh pohon tersebut. Tidak diketahui apakah dia keluar di daerah lain, dimensi lain, atau bahkan tidak dapat keluar dari pohon tersebut.  Karena banyaknya pencuri yang menghilang di pohon tersebut, maka masyarakat menyebut pohon itu sebagai kandang dari para pencuri atau perampok yang telah merugikan desa. Lambat laun desa tersebut dikenal sebagai Desa Bulukandang.

            Masyarakat Desa Bulukandang mempercayai kedua versi cerita di atas. Terlepas dari mana yang paling benar, keduanya memiliki unsur logis yang mencukupi untuk menjadi latar belakang terciptanya nama Desa Bulukandang.