Desa merupakan tempat bernaung adi
luhung para leluhur Jawa yang selalu dihiasi dengan Budi Pekerti pewarisnya.
Setiap jejak para leluhur memiliki harapan dalam kemajuan dan budaya masyarakat
penerusnya, yang nantinya akan menjadi berharga ketika mereka tidak melupakan
asal usul dimana mereka dilahirkan dan dimana mereka dibesarkan. Oleh karena
itu, sastra lisan berupa dongeng turun—temurun sangat dibutuhkan generasi
penerus dan harus dilestarikan agar cerita dari para leluhur tidak hilang
begitu saja.
Pada artikel ini akan membahas sebuah cerita yang terjadi
di Desa Bulukandang, salah satu desa di Kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur.
Desa dengan nama yang unik ini memiliki 5 sesepuh yang membuka jalan bagi warga
untuk tinggal di desa ini, atau dalam Bahasa Jawa sering disebut dengan ‘babat alas’ . 5 sesepuh ini mewakili 4
dusun yang ada di bawah naungan Desa Bulukandang. Mereka adalah Mbah Sampurno
di Dusun Kandangan Krajan, Mbah Puger dan Mbah Sayu di Dusun Bulu Krajan, Datuk
Baidowi di Dusun Tegalan Kandangan, dan Nyai Siti Fatimah di Dusun Tegalan
Buluh.
Dari kelima sesepuh ini, baru Mbah
Sayu dan Mbah Puger yang ceritanya telah diketahui dan memiliki nuansa mistis
yang kental. Daerah Bulu Krajan sendiri memiliki sebuah sungai tanpa air atau
yang biasa disebut cura. Yang membedakan cura ini dengan yang lain adalah,
setiap hari jumat legi akan muncul sepasang ‘banyak’ atau unggas sejenis bebek dengan leher yang lebih panjang.
Unggas ini bersuara dan terkadang muncul di hadapan masyarakat. Tidak diketahui
dari mana asalnya banyak ini. Ketika
ada masyarakat yang mengejar, maka banyak
ini akan berlari sepanjang cura kemudian
menghilang.
Diawali dengan kisah Mbah Puger yang
memiliki ‘perewangan’ seekor macan
putih yang akan mengelilingi Dusun Bulu Krajan setiap malam Jumat wage dengan
kaki yang tidak menginjak tanah. Tujuan macan ini mengelilingi Dusun tidak lain
adalah untuk berpatroli dan menjaga masyarakatnya dari generasi ke generasi.
Macan ini hanya bisa dipanggil dengan orang—orang tertentu di Desa. Akan tetapi
sekarang mulai sulit untuk menemukan orang yang memenuhi syarat tersebut.
Cerita selanjutnya adalah Mbah Sayu
yang memiliki Tugu di Dusun Bulu Krajan yang kemudian dikeramatkan oleh
masyarakat setempat. Tugu ini tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang, dengan
kata lain hanya orang tertentu yang dapat memasukinya. Mbah Sayu ini memiliki
beberapa pusaka, salah satunya adalah sebuah cambuk yang begitu sakti. Saking
saktinya, apabila ada orang yang ingin mengambilnya namun ilmunya tidak
mencukupi, maka tubuh orang tersebut akan terbakar.
Seiring berjalannya waktu, kesaktian
Mbah Sayu tidak luntur. Hal itu terbukti ketika PT Sampoerna akan membangun
PDAM dan wilayahnya sampai pada makam Mbah Sayu. Dengan terpaksa, makam yang
sudah lama itu harus digusur ke pemakaman umum dan proses pemindahan tersebut
menggunakan buldoser. Kejadian aneh bermula ketika supir buldoser tersebut
melihat seekor ular yang teramat besar, kemudian menghilang. Bermaksud untuk
melanjutkan pekerjaannya, buldoser yang dikendarai justru mengalami kerusakan
dan tidak dapat digunakan. Keesokan harinya PT Sampoerna mendatangkan buldoser
yang lebih besar. Akan tetapi blade buldoser malah pecah. Berangkat dari hal
tersebut, maka pihak PT Sampoerna mendatangkan orang pintar untuk membantu pemindahan makam tersebut. Dengan
bantuan orang pintar tersebut, maka
rencana pemindahan makam berjalan dengan lancar.
Sedikit kisah dari Desa Bulukandang
merupakan sekeping puzzel untuk menyusun sebuah cerita yang indah dari berbagai
daerah di tanah Jawa. Ya, tanah Jawa yang menyimpan berbagai cerita yang kental
dengan ilmu batin, yang terkadang tidak dapat dinalar oleh logika manusia.
Tugas kita sebagai generasi penerus adalah dengan mempercayai dan menghargai
apa yang telah ada di sekitar kita. Sopan santun tetap harus dijaga kepada
siapapun dan kapanpun juga. Karena dimana tanah dipijak, disitu pula langit
dijunjung.